BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tantangan utama dunia pendidikan Indonesia dewasa ini dan di masa depan adalah kemampuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia tersebut dipengaruhi oleh kualitas pendidikannya. Sistem pengajaran yang berlaku di Indonesia selama ini dirasa belum mampu melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas. Selain itu, salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia disebabkan karena belum adanya sistem pengajaran yang tepat untuk masyarakat Indonesia atau kurikulum yang sering berubah-ubah.
Dalam kaitan ini menarik untuk dikaji bagaimana kualitas pendidikan Indonesia dan upaya apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sehingga bisa menghasilkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas sebagaimana diharapkan, agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang produktif, efisien, dan memiliki kepercayaan diri yang kuat sehingga mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam kehidupan global ini.
Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas tentang permasalahan dunia pendidikan di Indonesia yang terfokus pada sistem pengajaran beserta penyelesaiannya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah permasalahan dunia pendidikan di Indonesia?
2. Bagaimana pemecahan masalahnya?
1.3 Tujuan
1. Untuk memberi pengetahuan kepada pembaca tentang permasalahan dunia pendidikan di Indonesia yang terfokus pada sistem pengajarannya sehingga melahirkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.
2. Menjelaskan pemecahan masalahnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Masalah Seputar Dunia Pendidikan Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit” yang disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali justru pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah pendidikan di Indonesia menghasilkan “manusia robot”. Dikatakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah atau kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, dan sebagainya. Pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Orientasi pendidikan Indonesia selama ini pun cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek atau klien, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan, materi bersifat pokok yang diorientasikan, manajemen bersifat sentralistis. Proses belajar mengajar didominasi dengan tuntutan untuk menghafalkan dan menguasai pelajaran sebanyak mungkin guna menghadapi ujian atau test, di mana pada kesempatan tersebut anak didik harus mengeluarkan apa yang telah dihafalkan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah). Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena otak murid dipandang sebagai kotak penyimpan deposit, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru. Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid.
Masalah ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat, melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain. Demikianlah gambaran permasalahan-permasalahan yang terjadi di seputar pendidikan kita.
Akibat dari praktek pendidikan semacam itu muncullah berbagai kesenjangan yang antara lain berupa :
1. Kesenjangan akademik
Menunjukkan bahwa ilmu yang dipelajari di sekolah tidak ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal ini disebabkan karena banyak guru yang tidak mampu mengaitkan mata pelajaran yang diajarkan dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Akibatnya guru terus terpaku pada pemikiran yang sempit. Terbatasnya wawasan para guru dalam memahami fenomena-fenomena yang muncul di tengah-tengah masyarakat menyebabkan mereka kurang tepat dan kurang peka dalam mengantisipasi permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan, akibatnya mereka kehilangan gambaran peta pendidikan & kemasyarakatan secara komprehensif.
2. Kesenjangan okupasional
Kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja, memang bukanlah sernata-mata disebabkan oleh dunia pendidikan sendiri. Melainkan, juga ada faktor yang datang dari dunia kerja.
3. Kesenjangan kultural
Ditunjukkan oleh ketidakmampuan peserta didik memahami persoalan-persoalan yang sedang dihadapi dan akan dihadapi bangsanya di masa depan. Kesenjangan kultural ini sebagai akibat sekolah-sekolah tidak mampu memberikan kesadaran kultural-historis kepada peserta didik.
Selain itu orientasi pendidikan yang kita pergunakan tersebut menyebabkan praktek pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan yang riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan dalam pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian.
2.2 Pemecahan Masalah
Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin mengabaikan proses globalisasi yang akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab. Di samping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu altematif yang dapat dilakukan adalah ”mengembangkan pendidikan yang berwawasan global”.
Pendidikan berwawasan global dapat dikaji berdasarkan dua perspektif yaitu :
1. Perspektif Kurikuler
. Berdasarkan perspektif kurikuler, pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan tenaga terdidik kelas menengah dan profesional dengan meningkatkan kemampuan individu dalam memahami masyarakatnya dalam kaitan dengan kehidupan masyarakat dunia, dengan ciri-ciri:
a) mempelajari budaya, sosial, politik dan ekonomi bangsa lain dengan titik berat memahami adanya saling ketergantungan
b) mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan untuk dipergunakan sesuai dengan kebutuhan lingkungan setempat
c) mengembangkan kemampuan dan keterampilan untuk bekerjasama guna mewujudkan kehidupan masyarakat dunia yang lebih baik.
Oleh karena itu, pendidikan berwawasan global akan menekankan pembahasan materi yang mencakup:
1. adanya saling ketergantungan di antara masyarakat dunia,
2. adanya perubahan yang akan terus berlangsung dari waktu ke waktu,
3. adanya perbedaan kultur di antara masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat oleh karena itu perlu adanya upaya untuk saling memahami budaya yang lain,
4. adanya kenyataan bahwa kehidupan dunia ini memiliki berbagai keterbatasan antara lain dalam wujud ketersediaan barang-barang kebutuhan yang jarang. Sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan yang jarang tersebut tidak mustahil menimbulkan konflik-konflik.
Berdasarkan perspektif kurikuler ini, pengembangan pendidikan berwawasan global memiliki implikasi ke arah perombakan kurikulum pendidikan. Mata pelajaran dan mata kuliah yang dikembangkan tidak lagi bersifat monolitik melainkan lebih banyak yang bersifat integratif. Dalam arti mata kuliah lebih ditekankan pada kajian yang bersifat multidispliner, interdisipliner dan transdisipliner.
2. Perspektif Reformasi
Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang dirancang untuk mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan dasar intelektual dan tanggung jawab guna memasuki kehidupan yang bersifat sangat kompetitif yang implikasinya tidak hanya bersifat perombakan kurikulum, melainkan juga merombak sistem, struktur dan proses pendidikan. Pendidikan berwawasan global memiliki arti bahwa pendidikan tidak semata ditata dan diatur dengan menggunakan perangkat aturan sebagaimana yang berlaku sekarang ini, serba seragam, rinci dan instruktif. Melainkan, pendidikan juga diatur layaknya suatu Mall, adanya kebebasan pemilik toko untuk menentukan barang apa yang akan dijual, bagaimana akan dijual dan dengan harga berapa barang akan dijual. Pemerintah tidak perlu mengatur segala sesuatunya dengan rinci.
Di samping itu, pendidikan berwawasan global bersifat sistemik organik, dengan ciri-ciri fleksibel-adaptif dan kreatif-demokratis. Bersifat sistemik-organik berarti sekolah merupakan sekumpulan proses yang bersifat interaktif yang tidak dapat dilihat sebagai hitam-putih, melainkan setiap interaksi harus dilihat sebagai satu bagian dari keseluruhan interaksi yang ada.
Fleksibel-Adaptif, berarti pendidikan lebih ditekankan sebagai suatu proses learning dari pada teaching. Peserta didik dirangsang memiliki motivasi untuk mempelajari sesuatu yang harus dipelajari dan continues learning. Tetapi, peserta didik tidak akan dipaksa untuk mempelajari sesuatu yang tidak ingin dipelajari. Materi yang. dipelajari bersifat integrated, materi satu dengan yang lain dikaitkan secara padu dan dalam open-system environment.
Kreatif-demokratis, berarti pendidikan senantiasa menekankan pada suatu sikap mental untuk senantiasa menghadirkan sesuatu yang baru dan orisinil. Tanpa demokrasi tidak akan ada proses kreatif, sebaliknya tanpa proses kreatif demokrasi tidak akan memiliki makna.
Selain solusi di atas, ada suatu model pendidikan/pengajaran yang dapat dijadikan solusi pada masalah ini, disebut “Pengajaran sebagai proses yang membebaskan”. Model tersebut berpijak pada tiga hal, yaitu: evokatif, dua arah dan mengaktualisasikan.
1. Evokatif
Persaingan sebagai salah satu ciri dari proses pengajaran yang diwarnai kekerasan, merupakam salah satu yang merusak sistem pendidikan yang ada. Persaingan menyebabkan cara pandang murid terhadap kawannya dan gurunya menjadi salah. Akibatnya, persaingan dapat menimbulkan perasaan takut yang dapat melumpuhkan pada diri seorang siswa karena hasil yang mereka capai. Ketakutan ini membuat banyak peserta didik terlalu peka dan cenderung curiga terhadap kawan atau guru mereka. Perasaan takut membuat mereka rendah diri, mempertahankan diri dalam hubungan dengan orang lain, was-was akan kemungkinan gagal serta ragu-ragu untuk mengambil resiko atau untuk mengerjakan hal-hal yang baru dan tidak terduga.
Karena perasaan takut, persaingan menjadi hambatan besar dalam perkembangan kepribadian yang utuh. Namun di dalam pendidikan yang membebaskan, hubungan guru-murid bersifat membebaskan, sehingga dalam hal ini persaingan tidak ada lagi, dan guru bukanlah hakim yang menakutkan akan tetapi orang yang diberi kesempatan menjadi guru dan mendorong murid agar semakin terbuka untuk belajar. Dalam pengertian ini, guru juga menjadi seorang sahabat bagi murid.
2. Dua Arah
Kalau dalam pengajaran yang diwarnai proses kekerasan sistemnya adalah satu arah, yaitu murid hanya menerima apa yang dikatakan oleh guru, maka dalam proses yang membebaskan/pengajaran yang membebaskan terjadi dalam dua arah. Guru belajar dari murid dan murid juga belajar dari guru. Guru dan murid adalah teman seperjalanan mencari yang benar, dapat dipertanggung jawabkan dan yang saling memberikan kesempatan untuk berperan satu terhadap yang lain. Guru tidak perlu takut kalau murid lebih mengerti daripada dirinya dan tidak perlu merasa kehilangan kehormatan, karena justru dengan demikian mereka telah membebaskan murid dari perasaan takut dan memberikan kepada murid kebebasan untuk berkembang.
3. Mengaktualisasikan
Untuk membangun dunia yang lebih baik, awal dari dunia itu harus tampak dalam hidup sehari-hari. Tidak ada alasan untuk mengharapkan akan terjadi banyak hal di masa depan kalau tanda-tanda harapan itu tidak ditampakkan pada masa kini.
Sekolah, sebagai bagian dari sistem pendidikan, adalah tempat di mana persaudaraan dapat dialami, di mana orang dapat hidup bersama tanpa merasa takut satu sama lain dan belajar didasarkan pada pertukaran pengalaman dan gagasan yang kreatif.
Oleh karena itu bagi mereka yang selesai sekolah, akan mempunyai keinginan yang semakin besar untuk membawa apa yang mereka alami selama bertahun-tahun di sekolah ke dunia yang lebih luas. Sekolah bukanlah arena latihan untuk mempersiapkan orang masuk ke dalam kekerasan masyarakat, tetapi merupakan tempat di mana masyarakat yang merdeka dapat dicoba, dibangun dan ditawarkan kepada dunia modern, sebagai gaya hidup yang lain.
Pendidikan sebagai suatu aktivitas yang harus menumbuhkan rasa cinta terhadap dunia dan sesama, kerendahan hati, keyakinan, pengharapan dan pemikiran kritis di dalam hati setiap orang yang terlibat di dalamnya. Semua itu merupakan “syarat” utama (sesuatu yang harus ada terlebih dahulu) dalam rangka menyadari kenyataan dunianya, kenyataan masyarakat serta lingkungannya yang akhirnya akan diikuti oleh tindakan untuk memperbarui dunia agar lebih baik lagi bagi hidup manusia. Dengan kata lain, pendidikan membentuk manusia yang memiliki kepekaan dan kesadaran sosial.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun beberapa permasalahan seputar dunia pendidikan di Indonesia di antaranya :
1. Pendidikan di Indonesia kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif).
2. Sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) sangat tidak membebaskan karena guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi.
3. Model pendidikan Indonesia melahirkan manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya.
Akibat dari praktek pendidikan Indonesia :
1. Kesenjangan Akademik
2. Kesenjangan Okupasional
3. Kesenjangan Kultural
Pemecahan Masalah :
1. Mengembangkan pendidikan yang berwawasan global yang meliputi Perspektif Kurikuler dan Perspektif Reformasi.
2. Membuat model pengajaran yang di sebut ”Pengajaran sebagai proses yang membebaskan” yang berpijak pada tiga hal yaitu : evokatif, dua arah dan mengaktualisasikan.
3.2 Saran
Mengetahui permasalahan dan akibat buruknya sistem pendidikan Indonesia di atas beserta pemecahannya maka hendaknya ada tanggapan dan tindakan yang nyata dari pemerintah Indonesia untuk segera memperbaiki dan memutuskan sistem pengajaran yang berlaku di Indonesia saat ini menjadi sistem pengajaran yang benar-benar tepat untuk masyarakat Indonesia, sehingga pada nantinya dapat melahirkan generasi muda bangsa yang penuh potensi dan berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar