Jumat, 27 Januari 2012

PENDIDIKAN AFEKTIF

Para ahli dan praktisi dalam bidang pendidikan semakin menyadari betapa pentingnya peranan pendidikan afektif, supaya tujuan pendidikan yang sebenarnya dapat tercapai. Tujuan tersebut ialah bahwa subjek didik mampu dan mau mengamalkan pengetahuan yang diperoleh dari dunia pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih-lebih setelah muncul suatu temuan bahwa EQ (emotional quotion) menyumbang 80% terhadap keberhasilan seseorang dalam kehidupan, dibandingkan dengan IQ (Intelligence quotion) yang hanya menyumbang 20 % (Golemen, alih bahasa Hermaya, 1997.

Kepedulian terhadap pengembangan afektif banyak difokuskan pada segi evaluasi, termasuk perumusan tujuan instruksional. Sementara dalam pendidikan di Indonesia yang berkembang adalah melihat pada prosesnya. Adapun yang menjadi kajian terpenting dalam pendidikan afektif adalah meliputi ketrampilan intrapersonal dan interpersonal. Ketrampilan intrapersonal berkaitan dengan pengembangan kemampuan mengelola diri sendiri, sedangkan ketrampilan interpersonal berhubungan dengan pengembangan kemampuan mengadakan hubungan antarpribadi. Dalam pengembangan ketrampilan intrapersonal selain membangun kesadaran diri, aspek lain yang perlu diperhatiakan adalah minat. Motivasi, sikap, dan nilai (values). Sementara dalam pengembangan keterampilan interpersonal aspek terpenting adalah bagaimana kita dapat menggunakan informasi tentang orang lain, agar dapat berhubungan secara efektif. Di sinilah ketrampilan untuk berkomunikasi dengan orang lain menjadi aspek kecerdasan (kecakapan) sosial. Kemampuan menyimak, asertif, mengatasi konflik, bekerjasama adalah bagian dari ketrampilan ini.
Selain itu –menurut B.S. Bloom- yang juga termasuk ranah afektif (affective domain) adalah: Penerimaan, mencakup kepekaan akan adanya suatu perangsang dan kesediaan untuk memperhatikan rangsangan itu, seperti buku pelajaran atau penjelasan yang diberikan oleh guru. Partisipasi mencakup kerelaan untuk memperhatikan secara aktif dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Penilai/penentuan sikap, mencakup kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu dan membawa diri sesuai dengan penilaian itu. Organisasi, kemampuan untuk membentuk suatu sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupan. Pembentukan pola hidup, mencakup kemampuan untuk menghayati nilai-nilai kehidupan sedemikian rupa, sehingga menjadi milik pribadi (internalisasi) dan menjadi pegangan nyata dan jelas dalam mengatur kehidupannya sendiri. Dan sistematika yang dipakainya adalah melalui fase pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, evaluasi, baru kemudian hasil.
Penekanan perkembangan afektif adalah pada bagaimana perasaan anak, bukan pada apa yang dirasakan oleh anak. Dengan kata lain yang menjadi pertanyaan utama adalah bagaimana perasaan atau emosi berubah atau bagaimana afeksi ditransformasikan dalam perkembangan . Dengan demikian pendekatan yang dipakai adalah lebih bersifat pedagogis (melihat dari bagaimana metode pengajarannya), karena mengutamakan aspek transfer of values.
Pembelajaran afektif berbeda dengan pembelajaran intelektual dan keterampilan, karena segi afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi khusus yang harus dipelajari. Hal-hal diatas menuntut penggunaan metode mengajar dan evaluasi hasil belajar yang berbeda dari mengajar segi kognitif dan keterampilan. Ada beberapa model pemebelajaran afektif. Merujuk pada pemikiran Nana Syaodih Sukmadinata (2005) akan dikemukakan beberapa model pembelajaran afektif yang populer dan banyak digunakan.
1. Model Konsiderasi
Manusia seringkali bersifat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan, dan sibuk dan sibuk mengurusi dirinya sendiri. Melalui penggunaan model konsiderasi (consideration model) siswa didorong untuk lebih peduli, lebih memperhatikan orang lain, sehingga mereka dapat bergaul, bekerja sama, dan hidup secara harmonis dengan orang lain.
Langkah-langkah pembelajaran konsiderasi: (1) menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konsiderasi, (2) meminta siswa menganalisis situasi untuk menemukan isyarat-isyarat yang tersembunyi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain, (3) siswa menuliskan responsnya masing-masing, (4) siswa menganalisis respons siswa lain, (5) mengajak siswa melihat konsekuesi dari tiap tindakannya, (6) meminta siswa untuk menentukan pilihannya sendiri.
2. Model pembentukan rasional
Dalam kehidupannya, orang berpegang pada nilai-nilai sebagai standar bagi segala aktivitasnya. Nilai-nilai ini ada yang tersembunyi, dan ada pula yang dapat dinyatakan secara eksplisit. Nilai juga bersifat multidimensional, ada yang relatif dan ada yang absolut. Model pembentukan rasional (rational building model) bertujuan mengembangkan kematangan pemikiran tentang nilai-nilai.
Langkah-langkah pembelajaran rasional: (1) menigidentifikasi situasi dimana ada ketidakserasian atu penyimpangan tindakan, (2) menghimpun informasi tambahan, (3) menganalisis situasi dengan berpegang pada norma, prinsip atu ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masyarakat, (4) mencari alternatif tindakan dengan memikirkan akibat-akibatnya, (5) mengambil keputusan dengan berpegang pada prinsip atau ketentuen-ketentuan legal dalam masyarakat.
3. Klarifikasi nilai
Setiap orang memiliki sejumlah nilai, baik yang jelas atau terselubung, disadari atau tidak. Klarifikasi nilai (value clarification model) merupakan pendekatan mengajar dengan menggunakan pertanyaan atau proses menilai (valuing process) dan membantu siswa menguasai keterampilan menilai dalam bidang kehidupan yang kaya nilai. Penggunaan model ini bertujuan, agar para siwa menyadari nilai-nilai yang mereka miliki, memunculkan dan merefleksikannya, sehingga para siswa memiliki keterampilan proses menilai. Langkah-langkah pembelajaran klasifikasi nilai:
1)    Pemilihan: para siswa mengadakan pemilihan tindakan secara bebas, dari sejumlah alternatif tindakan mempertimbangkan kebaikan dan akibat-akibatnya.
2)    Mengharagai pemilihan: siswa menghargai pilihannya serta memperkuat-mempertegas pilihannya.
3)    Berbuat: siswa melakukan perbuatan yang berkaitan dengan pilihannya, mengulanginya pada hal lainnya.
4. Pengembangan moral kognitif
Perkembangan moral manusia berlangsung melalui restrukturalisasi atau reorganisasi kognitif, yang yang berlangsung secara berangsur melalui tahap pra-konvensi, konvensi dan pasca konvensi. Model ini bertujuan membantu siswa mengembangkan kemampauan mempertimbangkan nilai moral secara kognitif.
Langkah-langkah pembelajaran moral kognitif:
1)    Menghadapkan siswa pada suatu situasi yang mengandung dilema moral atau pertentangan nilai.
2)    Siswa diminta memilih salah satu tindakan yang mengandung nilai moral tertentu.
3)    Siswa diminta mendiskusikan/ menganalisis kebaikan dan kejelekannya.
4)    Siswa didorong untuk mencari tindakan-tindakan yang lebih baik.
5)    Siswa menerapkan tindakan dalam segi lain.
5. Model nondirektif
Para siswa memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang sendiri. Perkembangan pribadi yang utuh berlangsung dalam suasana permisif dan kondusif. Guru hendaknya menghargai potensi dan kemampuan siswa dan berperan sebagai fasilitator/konselor dalam pengembangan kepribadian siswa. Penggunaan model ini bertujuan membantu siswa mengaktualisasikan dirinya.
Langkah-langkah pembelajaran nondirekif:
1)    Penciptakan sesuatu yang permisif melalui ekspresi bebas,
2)    Pengungkapan siswa mengemukakan perasaan, pemikiran dan masalah-masalah yang dihadapinya,guru menerima dan memberikan klarifikasi.
3)     Pengembangan pemahaman (insight), siswa mendiskusikan masalah, guru memberrikan dorongan.
4)    Perencanaan dan penentuan keputusan, siswa merencanakan dan menentukan keputusan, guru memberikan klarifikasi. I
5)    ntegrasi, siswa memperoleh pemahaman lebih luas dan mengembangkan kegiatan-kegiatan positif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar