Rabu, 14 Desember 2011

PERKEMBANGAN JIWA DEWASA

PERKEMBANGAN JIWA DEWASA
Seseorang setelah usai melalui tahap pertumbuhan dan perkembangan pada masa remaja, akan berlanjut pada perkembangan masa jiwa. Saat remaja adalah masa dimana seorang individu sedang mencari dimana jati dirinya. Masa dimana seorang individu mulai dihadapkan dengan berbagai permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Pergaulan yang baik akan membawa seorang remaja pada perkembangan yang baik pula, sebaliknya pergaulan yang tidak baik akan membawa seorang pada perkembangan yang tidak baik pula. Setelah seorang remaja menemukan jati diri yang sesungguhnya dalam perkembangan yang selanjutnya akan lebih mudah dalam membentuk kematangan jiwanya. Orang dewasa adalah pribadi yang matang dan independen, mereka telah mengalami beberapa tahapan proses psikologis yang berbeda dari psikologis anak-anak. Mereka telah memiliki standar sendiri, memiliki pengalaman dan butuh penghargaan. Schaie & Willis (1991) menyatakan bahwa “tidaklah mudah untuk mendefiniskan bahwa seseorang sudah menjadi dewasa, karena tidak ada kondisi yang sama persis yang dapat diterapkan pada semua orang”. Hurlock (1990) mendefinisikan “dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama orang dewasa lainnya”.
Berikut ini tiga tingkatan masa dewasa menurut Elizabeth B. Hurlock:
1. Masa dewasa awal (masa dewasa dini/young adult)
Masa dewasa awal adalah masa pencarian kemantapan dan masa reproduktif masa ini adalah  suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, priode isolasi sosial, priode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun. Masa ini mungkin adalah masa tersulit dalam tingkat perkembangan kedewasaan, karena sebelumnya adalah masa remaja yang biasanya kehidupan kita selalu bergantung pada orang terdekat kita dalam hal ini adalah orang tua atau wali kita. Sedangkan pada masa dewasa awal kita dituntut untuk berusaha sendiri untuk menentukan jalan mara yang akan di lewati untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan kehidupan setelahnya. Kita harus bisa beradaptasi dari kehidupan remaja menuju ke kehidupan dewasa.

2. Masa dewasa madya (middle adulthood)
Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun. Ada beberapa ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan sosial antara lain: masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa dewasanya dan memasuki suatu priode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial. Karena pada saat itu mereka merasa mereka butuh benar-benar butuh akan adanya pemuasan rohani yang diwujudkan dalam kesungguhannya terhadap agama dan perhatian yang lebih terhadap agama.
3. Masa usia lanjut (masa tua/older adult)
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini adalah masa akhir dimana tidak ada lagi perkembangan, melainkan ada beberapa perubahan yang malah cenderung menurun. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut: perubahan yang menyangkut kemampuan motorik, perubahan kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam system syaraf, perubahan penampilan. Tindakan, pikiran dan perilaku para lansia biasanya cenderung seperti anak kecil.

Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Papalia, Old, dan Feldman (1998) “masa usia menikah adalah usia dewasa awal yaitu antara 20 hingga 40 tahun”. Hal ini dapat diartikan sebagaimana fungsi perkembangan dewasa awal untuk memasuki dunia pernikahan dan dan membina bahtera rumah tangga. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Huvigurst (dalam Hurlock, 1990) “yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi karakteristik masa dewasa awal adalah mulai memilih pasangan hidup dan mulai bekerja”. Kedua pendapat tersebut menyebutkan bahwa di masa dewasa awal orang-orang mulai untuk berkehidupan madiri, tidak bergantung, mulai untuk berkomitmen dan kemudian membangun suatu rumah tangga, mempunyai anak mulai membangun apa yang ada pada dirinya dan membangun persahabatan yang erat.
Para ahli psikologi perkembangan, seperti Turner dan Helms (1995) mengemukakan bahwa ada dua dimensi perkembangan mental, yaitu (1) dimensi perkembangan mental kualitatif (quali­tative mental dimensions] dan (2) dimensi perkembangan men­tal kuantitatif (quantitative mental dimensions}.
1. Dimensi Mental Kualitatif (Qualitative Mental Dimensions)
Untuk mengetahui sejauh mana kualitas perkembangan mental yang dicapai seorang dewasa muda, perlu diperbandingkan dengan taraf mental yang dicapai individu yang berada pada tahap remaja atau anak-anak. Walaupun Piaget mengatakan bahwa remaja ataupun dewasa muda sama-sama berada pada tahap operasi formal, yang membedakan adalah bagaimana kemampu-an individu dalam memecahkan suatu masalah. Bagi remaja, kadang kala masih mengalami hambatan, terutama cara me-mahami suatu persoalan masih bersifat harfiah, artinya individu memahami suatu permasalahan yang tersurat pada tuHsan dan belum memahami sesuatu yang tersirat dalam masalah tersebut. Hal ini bisa dipahami karena sifat-sifat karakteristik kognitif ini merupakan kelanjutan dari tahap operasi konkret sebelumnya.

Sementara itu, menurut Turner dan Helms (1995), dewasa muda bukan hanya mencapai taraf operasi formal, nielainkan telah memasuki penalaran postformal (post-formal reasoning). Kemampuan ini ditandai dengan pemikiran yang bersifat dialektikal (dialectical thought], yaitu kemampuan untuk me­mahami, menganalisis dan mencari titik temu dari ide-ide, gagasan-gagasan, teori-teori, pendapat-pendapat, dan pemikiran-pemikir-an yang saling kontradiktif (bertentangan) sehingga individu mampu menyintesiskan dalam pemikiran yang baru dan kreatif. Gisela Labouvie-Vief (dalam Turner dan Helms, 1995} setuju kalau operasi formal lebih tepat untuk remaja, sedangkan dewasa muda mampu memahami masalah-masalan secara logis dan mampu mencari intisari dari hal-hal yang bersifat paradoksal sehingga diperoleh pemikiran baru.
Menurut seorang ahli perkembangan kognitif, Jan Sinnot (1984, 1998, dikutip dari Papalia, Olds, dan Feldman, 2001), ada empat ciri perkembangan kognitif masa post-formal berikut ini.
a.       Shifting gears.
Yang dimaksud dengan shifting gears adalah kemampuan mengaitkan penalaran abstrak (abstracts rea­soning) dengan hal-hal yang bersifat praktis. Artinya, individu bukan hanya mampu melahirkan pemikiran abstrak, melain-kan juga mampu menjelaskanymenjabarkan hal-hal abstrak (konsep ide) menjadi sesuatu yang praktis yang dapat diterap-kan langsung. Dalam hal ini akan dikenal dengan ungkap-an seperti, “This might work on paper but not in real life”.
b.      Multiple causality, multiple solutions.
Seorang individu mampu memahami suatu masalah tidak disebabkan satu faktor, tetapi berbagai faktor (multiple factors). Karena itu, untuk dapat menyelesaikannya, diperlukan kemampuan berpikir untuk mencari berbagai alternatif solusi (divergent think­ing). Dengan demikian, seorang individu tidak berpikir kaku (rigid thinking] pada satu jenis penyelesaian saja. Oleh karena itu, masa ini dikenal dengan istilah, “Let’s try it your way, if that doesn’t work, we can try my way”.
c.       Pragmatism.
Orang yang berpikir postformal biasanya ber-sikap pragmatis, artinya ia mampu menyadari dan memilih beberapa solusi yang terbaik dalam memecahkan suatu masalah. Pemikiran praktis yang dilahirkan dalam memecah­kan suatu masalah pada tahap ini harus benar-benar mengenai sasaran (goal oriented). Namun, dalam hal ini, individu dapat menghargai pilihan solusi orang lain. Sebab, cara penyelesaian masalah bagi tiap orang berbeda-beda, tergantung cara orang itu berpikir. Ungkapan yang tepat untuk masa pragmatisme ini adalah, “If you want the most practical solu­tion, do this. If you want the quickest solution, do that”.
d.      Awareness of paradox.
Seorang yang memasuki masa postformal benar-benar menyadari bahwa sering kali ia me-nemukan hal-hal yang bersifat paradoks (kontradiktif) dalam mengambil suatu keputusan guna menyelesaikan suatu masalah. Yang dimaksud paradoks (kontradiktif) adalah penyelesaian suatu masalah akan dihadapkan suatu dilema yang saling bertentangan antara dua hal dari masalah tersebut Bila ia mengambil suatu keputusan, keputusan tersebut akan memberi dampak positif ataupun negatif bagi diri sendiri dan orang lain. Hal yang positif tentunya akan memberi keuntungan diri-sendiri, tetapi mungkin akan merugikan orang lain. Atau sebaliknya, hal yang negatif akan merugi­kan diri sendiri, tetapi akan memberi keuntungan bagi orang lain. Oleh karena itu, dibutuhkan keberanian (ketegasan) untuk menghadapi suatu konflik, tanpa harus melanggar prinsip kebenaran ataupun keadilan. Dalam hal ini, dikenal ungkapan, “Doing this will give him what he wants, but it will only make kirn unhappy in the end”.
2. Dimensi Mental Kuantltatif (Quantitative Mental Dimensions)
Menurut Turner dan Helms (1995), untuk mengetahui kemampuan mental secara kuantitatif diperlukan suatu pengukuran yang menggunakan skala angka secara eksak atau pasti. Dalam suatu penelitian longitudinal yang dilakukan sekitar tahun 1930 dan 1940, ditemukan bahwa taraf inteligensi cenderung menurun. Latar belakang proses penurunan ini dikarenakan perbedaan faktor pendidikan ataupun status sosial ekonomi (status of econo-sociafy. Individu yang memiliki latar belakang pendidikan ataupun status sosio-ekonomi rendah karena jarang memperoleh tantangan tugas yang mengasah kemampuan kecerdasan sehingga cenderung menurun ke­mampuan intelektualnya secara kuann’tauf. Sebaliknya, individu yang memiliki taraf pendidikan ataupun status sosio-ekonomi yang mapan, berarti ketika bekerja banyak menuntut aspek pemikiran intelektual sehingga intelektualnya terasah. Dengan demikian, kemampuan kecerdasannya makin baik.
Dalam bukunya The Varieties Of Religious Experience William James menilai secara garis besar sikap dan prilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu:
1. Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Menurut William James,sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin ataupun sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.
Adapun ciri-ciri tindak keagamaan mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap:
- Pesimis
Dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung bersikap pasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima.
- Intovert
Sifat pesimis membawa mereka untuk bersikap objektif. Segala marabahaya dan penderitaan selalu dihubungkannya dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat.


- Menyenagi paham yang ortodoks.
Sebagai pengaruh sifat pesimis dan introvert kehidupan jiwanya menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.
2. Tipe Orang yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalm bukunya Religion Psychology adalah:
- Optimis dan gembira
Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis. Pahala menurut pandangannya adalah sebagai hasil jerih payah yang diberikan Tuhan. Sebaliknya, segala bentuk musibah dan penderitaan yang dianggap sebagai keteledoran dan kesalahan yang dibuatnya dan tidak beranggapan sebagai peringatan Tuhan terhadap dosa manusia.
- Ektrovet dan tak mendalam
Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jasmani ini menyebabkan mereka mudah melupakankesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses agamis tindakannya.
- Menyenagi ajaran ketauhidan yang liberal
Sebagai pengaruh kepribadaian yang ekstrovet maka mereka cenderung:
1) Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kakuk
2) Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas
3) Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
E. Masalah-masalah Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Seorang ahli psikologi Lewis Sherril, membagi masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa sebagai berikut:
1.    Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambildengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
2.    Masa dewasa tengah, masalah sentaral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara konsisten.
3.    Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.

















DAFTAR RUJUKAN
-          http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/13/psikologi-agama-pada-orang-dewasa/
-          http://dewasaakhir.blogspot.com/
-          http://atmakusumah.wordpress.com/2010/01/13/menjadi-jiwa-yang-dewasa/
-          http://eeqbal.blogspot.com/2008/12/konsep-pendidikan-orang-dewasa-dan.html
-          http://daffahanif.blog.friendster.com/2006/09/menjadi-dewasa/

1 komentar: