Jumat, 27 Januari 2012

PEMELIHARAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dewasa ini semakin disadari oleh banyak pihak bahwa dalam menjalankan roda suatu organisasi, manusia merupakan unsur yang terpenting. Berbagai alat produksi lainnya, seperti modal, sarana kerja, mesin-mesin, bahan mentah dan bahan baku, perangkat lunak seperti metode kerja serta pasar bagi organisasi niaga, tetap diperlukan serta tetap mempunyai arti penting, tidak akan ada yang menyanggahnya.
Pemeliharaan hubungan yang kontinue dan serasi dengan para karyawan dalam setiap organisasi menjadi sangat penting. Teori manajemen sumber daya manusia memberi petunjuk bahwa hal-hal yang penting diperhatikan dalam pemeliharaan hubungan tersebut antara lain menyangkut motivasi dan kepuasan kerja, penanggulangan stress, konseling dan pengenaan sanksi disipliner, sistem komunikasi, perubahan dan pengembangan organisasi serta peningkatan mutu hidup para karyawan. (Sondang Siagian 2009:286)
Hubungan industrial merupakan hubungan formal yang terdapat antara kelompok manajemen dan kelompok pekerja yang terdapat dalam suatu organasasi (Sondang Siagian 2009:328).
Fungsi pengusaha dan organisasi pengusaha adalah menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja. Sedangkan fungsi pemerintah adalah menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, pengawasan dan penindakan terhadap pelanggarnya.
Dengan terciptanya hubungan industrial yang serasi, aman, dan harmonis diharapkan dapat meningkatkan produksi dan produktivitas kerja, sehingga dengan demikian perusahaan akan dapat tumbuh dan berkembang sehingga kesejahteraan pekerja dapat ditingkatkan.




B.    Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Apa landasan hukum dalam hubungan industrial?
2.    Bagaimana cara memelihara hubungan kerja dengan karyawan?
3.    Bagaimana pelaksanaan hubungan industrial pancasila?
4.    Bagaimana peranan serikat pekerja dalam industri?
5.    Masalah apa saja yang sring dihadapi di dalam hubungan indutrial?
6.    Bagaimana cara penyelesaian permasalahan perburuhan?
7.    Apa saja peran pemerintah dalam mengatasi permasalahan perburuhan?

C.    Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk menemukan alternatif penerapan dan pengembangan peningkatan hubungan industrial suatu organisasi. Namun secara spesifik tujuan ini adalah untuk mengetahui :
1.    Landasan hukum dalam hubungan industrial.
2.    Peliharaan hubungan kerja dengan karyawan.
3.    Pelaksaan hubungan industrial pancasila.
4.    Serikat pekerja dalam industri.
5.    Masalah yang sering dihadapi dalam hubungan indutrial.
6.    Penyelesaian permasalahan perburuhan.
7.    Peranan pemerintah dalam mengatasi permasalahan perburuhan.










BAB II
PEMBAHASAN

Hubungan industrial merupakan hubungan antara pelaku proses produksi barang maupun jasa yaitu pengusaha, pekerja dan pemerintah. Hubungan industrial bertujuan untuk menciptakan hubungan yang serasi, harmonis dan dinamis antara pelaku proses produksi tersebut. Oleh karena itu masing-masing pelaku produksi tersebut harus melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing secara baik.
Dalam hubungan indutrial yang terlibat langsung dalam proses produksi adalah pengusaha dan pekerja, sedangkan pemeritah tidak terlibat secara langsung. Oleh karena itu pengusaha dan pekerja terlibat dalam suatu hubungan kerja yang menimbulkan hak dan kewajiban.

A.    Landasan Hukum
Undang-undang Republik Indonesia
No.13 tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan
Ketentuan umum
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna    menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

5. Pengusaha adalah :
    a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
    b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan hukum miliknya;
    c. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
6. Perusahaan adalah :
    a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
    b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan        memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang menjadi dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian dan analisis data yang    berbentuk angka yang diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai    dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,    meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
10. Kompetesi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan      tenaga kerja dengan memberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya, dan memberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan mengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh      berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan      perintah.
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang berbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untukpekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.



Landasan, Asas dan Tujuan
Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan berlandasan Pancasila dan Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan malalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Pasal 4
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

Hubungan Kerja
Pasal 50
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.
Pasal 51
(1) Perjanjian kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.
(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 52
(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
Pasal 53
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.

Pasal 54
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat :
a. nama, alamat perusahaan dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umum dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh.
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.

Pasal 55
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.
Pasal 56
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan atas ;
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pasal 57
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tisak tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudahan terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 58
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
(2) Dalam hal diisyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang diisyaratkan batal demi hukum.
Pasal 59
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjuan kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktutertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) maka demi hukum menjadi penjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 60
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Pasal 61
(1) Perjanjian kerja berakhir apabila :
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak
mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 62
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Pasal 63
(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat keterangan :
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah.
Pasal 64
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerj/buruhdengan pe rusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
Pasal 66
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasapenunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselilsihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan prusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

Hubungan Industrial
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 102
(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliaanya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
(3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratais dan berkeadilan.
Pasal 103
Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana :
a. serikat pekerja/serikat buruh;
b. organisasi pengusaha;
c. lembaga kerja sama bipartit;
d. lembaga kerja sama tripaartit;
e. peraturan perusahaan;
f. perjanjian kerja bersama;
g. peratauran perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industria.
Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 104
(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat pekerja/serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok.
(3) Besarnya adan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Organisasi Pengusaha
Pasal 105
(1)    Setiap pengusaha berhak membentuk dan manjadi anggota organisasi pengusaha.
(2)    Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama Bipartit
Pasal 106
(1) Seetiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.
(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama Tripartit
Pasal 107
(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan.
(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari :
a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi dan Kabupataen/Kota; dan
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh.
(4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan
Pasal 108
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.
Pasal 109
Peratuaran perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan.
Pasal 110
(1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh maka wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belun terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerjka/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 111
(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata tertib perusahaan; dan
e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Masa berlaku peratauran perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya.
(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka pengusaha wajib melayani.
(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak mencapai kesempatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya.
Pasal 112
(1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima.
(2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan peratauran perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan pengesahan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan.
(4) Dalam wakktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengusaha wajib menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 113
(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 114
Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh
Pasal 115
Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 116
(1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
(2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara musyawarah.
(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka perjanjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 117
Dalaml hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai kesepatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Pasal 118
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perpusahaan.


Pasal 119
(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh perseratur) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.
(3) Dalam hal dukungaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 120
(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/buruh dapat melakukan koalisasi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perpusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 121
Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.
Pasal 122
Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha.
Pasal 123
(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai kesepatan maka perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 124
(1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peratuaran perundang-undangan yang berlaku.
(3)Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundanagundangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 125
Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama, makak perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.
Pasal 126
(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.
(3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada setiap pekerja/buruh atas biaya perusahaan.
Pasal 127
(1) Perjajian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 128
Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 129
(1) Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan perusahaan, selama di perusahaan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan perjanjian kerja bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 130
(1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yanag sudah berakhir masa berlakunya akan diperjanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu) serikat/serikata buruh, maka perpanjangan atau pembuatan  pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak mensharatkan ketentuan dalam Pasal 119.
(2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat  lebih darai 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu berunding tidal lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratur) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perpusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara proporsional.
(3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 131
(1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masaing perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh.
(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhinya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
Pasal 132
(1) Perjanjian kerja bersama berlaku pada hari penandatanganan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut.
(2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian kerja bersama selanjutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 133
Ketentuan mengenai persyaratan serta tata acara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 134
Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundangundangan ketenagakerjaan.
Pasal 135
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan hubungan industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah.







Bagian Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Paragraf 1
Perselisihan Hubungan Industrial
Pasal 136
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrian yang diatur dengan undang-undang.
Paragraf 2
Mogok kerja
Pasal 137
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Pasal 138
(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.
Pasal 139
Pelaksanaan mogok bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.


Pasal 140
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat a. waktu (hari, tanggal dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja; c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara ;
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan
proses produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di
lokasi perusahaan.
Pasal 141
(1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima.
(2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang.
(5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
Pasal 142
(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur dengan Keputusan Mengeri.
Pasal 143
(1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangai pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib dan damai.
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukkan mogok kerja secara sah, tertib dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 144
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 pengusaha dilarang :
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
Pasal 145
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah.
Paragraf 3
Penutupan Perusahaan (lock-out)
Pasal 146
(1) Penutupan perusahaan (lock-out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagaian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan.
(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock-out) sebagai tindakan balatan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock-out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Pasal 147
Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahlan minyak dan gas bumi serta kereta api.
Pasal 148
(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta insntansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat a. waktu (hari, tanggal dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock aut); dan b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock aut).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 149
(1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal dan jam penerimaan.
(2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock aut) berlansung, instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock aut) dengan mempertemukan dan merundingkan dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakaatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh pihak dan pegawai dari instansi yang beranggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimakskud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
(5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh, penutupan perusahaan (lock aut) dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan apabila ;
a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana dimakskud dalam Pasal 140;
b. pekerjka/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normataif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B.    Cara Memelihara Hubungan Kerja
Pemeliharaan hubungan kerja dalam suatu organisasi sangat diperlukan. Hal ini dilakukan untuk mendorong pengembangan sumber daya manusia yang ada dalam organisasi tersebut. Hal-hal yang berhubungan dengan pemeliharaan hubungan kerja antara lain:
1.    Motivasi
Produktivitas suatu organisasi dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kesempatan memperoleh pendidikan dan pelatihan tambahan, penilaian prestasi kerja yang adil, rasional dan obyektif, sistem imbalan dan berbagai faktor lainnya. Motivasi dan kepuasan kerja merupakan bagian dari berbagai faktor tersebut. Akan tetapi dilihat dari sudut pemeliharaan hubungan dengan para karyawan, motivasi dan kepuasan kerja merupakan bagian yang penting.
Oleh karena itu bagian yang mengelola sumber daya manusia mutlak perlu memahami hal ini dalam usahanya memelihara hubungan yang harmonis dengan seluruh anggota organisasi. Adanya motivasi yang tepat, akan mendorong para karyawan untuk berbuat semaksimal mungkin dalam melaksanakan tugasnya karena meyakini bahwa dengan keberhasilan organisasi mencapai tujuan dan berbagai sasarannya, kepentingan-kepentingan pribadi para anggota organisasi tersebut akan terpelihara pula.
2.    Kepuasan Kerja
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa dalam pekerjaannya seseorang mempunyai otonomi untuk bertindak, terdapat variasi, memberikan sumbangan penting dalam keberhasilan organisasi dan karyawan memperoleh umpan balik tentang hasil pekerjaan yang dilakukannya, yang bersangkutan akan merasa puas. Bentuk program perkenalan yang tepat serta berakibat pada diterimanya seorang sebagai anggota kelompok kerja dan oleh organisasi, serta situasi lingkungan akan berpengaruh pada tingkat kepuasan kerja seseorang.
Pemahaman tentang kepuasan kerja dapat terwujud apabila analisis tentang kepuasan kerja dikaitkan dengan tingkat prestasi, usia pekerja, tingkat jabatan, dan besar kecilnya organisasi.

C.    Pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila
Untuk menunjukkan falsafah hubungan industrial pancasila itu dalam kehidupan sehari-hari antara para pelaku proses produksi maka perlu diciptakan suatu kondisi dan suasana yang menunjang, agar sikap mental dan sikap sosial hubungan industrial pancasila dapat tumbuh dan berkembang sehingga menjadi perilaku semua pihak dalam pergaulan sehari-hari.
Untuk menciptakan suasana yang menunjang tersebut maka perlu dikembangkan sarana-sarana utama yang menunjang terlaksananya hubungan industrial pancasila. Sarana-sarana tersebut adalah ( Dianto 2008):
1.    Lembaga Kerjasama Bipartit dan Tripartit
a.    Lembaga kerjasama bipartit
Lembaga ini penting dikembangkan di perusahaan agar komunikasi antara pihak pekerja dan pihak pengsaha selalu berjalan dengan lancar. Dengan demikian kesalahpahaman antara kedua belah pihak dapat dihindari, saling pengertian sehingga tercipta ketenangan kerja dan meningkatnya produksi dan produktifitas.
b.    Lembaga kerjasama tripartit
Didalam perusahaan pemerintah juga merupakan pihak yang penting mewakili kepentingangan masyarakat umum. Karena itu dalam hubungan industrial pancasila keserasian antara pihak pekerja, pengusaha dan pemerintah perlu dijaga. Untuk itu lembaga lembaga tripartit perlu dikembangkan sebagai forum komunikasi, konsultasi dan dialog antara ketiga pihak tersebut. dengan berkembangnya lembaga kerjasama tripartit maka kebijaksanaan pemerintah yang dikeluarkan dalam bidang hubungan industrial danpat dikomunikasikan didalam lembaga tripartid sehigga kal pancasila kebijaksanaan yang diambil pemerintah itu merupakan aspirasi dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak.
2.    Kesepakatan Kerja Bersama
a.    Kesepakatan kerja bersama merupakan sarana yang penting dalam mewujudkan dalam mewujudkan hubungan industrial pancasila dalm praktek sehari-hari. Sebab melelaui kesepakatan kerja bersama dapat diwujudkan suatu proses musyawaroh dan mufakat dalam mewujudkan kesepakatan kerja bersama.
b.    Dalam kesepakatan kerja bersama semngat hubungan industrial perlu mendapat perhatian. Jiwa dari falsaafah hubungan industrial panccasil harus tercemin dalam kebijaksanaan mengenai pengupahan, syarat-syarat kerja maupun jamsos didalam kesepakatan kerja bersama.
c.    Untuk mendorong dicerminkanya falsafah hubungan industrial pancasila kedalam kesepakatan kerja bersama maka pada setiap kesepakatan kerja bersama supaya paling sedikit harus memiliki suatu pendahuluan yang mencerminkan falsafah hubungan industrial pancasila
3.    Kelembagaan Penyelesaian Perselisihan Industrial.
a.    Perlu disadari bahwa sekalipun  kerjasama bipartit dan tripartit telah terbina dengan baik dan kesepakakatan kerja bersama telah pula diadakan, namun masalah perselisihan dalam praktik akan tetap terjadi dan sukar dihindari. Karena itu lembaga yang diserahi tugas penyelesaian perselisihan industrial perlu ditingkatkan peranannya melalui peningkatan kemampuan serta integritas personilnya.
b.    Kelembagaan penyelesaian perselisihan baik pegawai, perantara, arbritasi, P4D/P4P yang berfungsi dengan baik akan dapat meneyelesaikan perselisihan dengan cepat, adil, terarah dan murah. Hal ini tentu saja akan dapat menghindari terjadinya dampak negatif dar  i suatu perselisihan industrial.
4.    Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan
a.    Peraturan perundangan berfungsi melindungi pihak yang lemah terhadap pihak yang kuat dan memberi kepastian terhadap hak dan kewajibannya masing-masing. Karena itu perundangan dan peraturan kerja dapat menciptakan ketenangan dan kegairahan kerja.
b.    Setiap peraturan perundangan ketenagakerjaan harus dijiwai oleh falsafah Hubungan industrial Pancasila. Oleh karena itu peraturan perundangan yang ada perlu disempurnakan, diubah dan jika perlu diciptakan peraturan perundangan yang baru yang dapat mendorong pelaksaan hubungan industrial Pancasila.

D.    Serikat Pekerja dalam Indutri
Menurut undang-undang No.13 tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan dan undang-undang No.21 tahun 2000 mendefinisikan serikat pekerja sebagai sebuah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas terbuka, mandiri demokrasi dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
1.    Tujuan Serikat Pekerja
Dalam Henry Simamora (2004:563) menurut Pasal 1 ayat 4 undang-undang serikat pekerja tahun 2000, serikat pekerja/ serikat buruh, federasi dan konfederensi serikat pekerja/ serikat buruh bertujuan untuk memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri.
Tujuan kedua yaitu peningkatan tujuan sosial secara keseluruhan. Pencapain tujuan sosial telah menjadi bagian kontroversial dari filosofi serikat pekerja, terutama bagi kebanyakan orang yang umumnya lebih menyukai keuntungan adanya serikat pekerja untuk mereka sendiri.
2.    Faktor-Faktor Pendukung Karyawan Masuk dalam Serikat Pekerja
a.    Ketidakpuasaan terhadap manajemen
Beberapa alasan ketidakpuasan karyawan antara lain (Henry Simamora, 2004:560-563)


1.    Kompensasi
Para karyawan mendambakan kompensasi yang adil dan wajar. Upah penting bagi mereka karena upah menyediakan kebutuhan hidup dan kesenangan. Sekiranya kalangan karyawan merasa tidak puas dengan upahnya, mereka kemungkinan akan melirik bantuan serikat pekerja untuk meningkatkan standart hidup mereka.
2.    Sistem upah dua tingkat
Sistem upah dua tingkat (two tier wage system) adalah struktur upah yang mencerminkan tarif upah yang lebih rendah untuk karyawan yang baru diangkat tatkala dibandingkan dengan yang diterima oleh karyawan mapan yang mengerjakan pekerjaan serupa.
Sistem ini merupakan salah satu perkembangan yang paling kontroversial dalam perundingan kerja bersama. Dalam sistem upah dua tingkat, karyawan yang baru diangkat dibayar lebih kecil daripada karyawan yang telah ada dalam daftar gaji.
3.    Keselamatan kerja
Karyawan-karyawan acapkali membutuhkan rasa keselamatan kerja dan keyakinan bahwa manajemen tidak akan mengambil keputusan yang serampangan dan tidak adil atas pekerjaan mereka.
Bagi karyawan muda, keselamtan kerja (job security) sering kurang penting ketimbang bagi karyawan yang lebih tua. Tetapi seumpama para karyawan melihat manajemen secara konsisten memberhentikan karyawan yang lebih tua dalam rangka melapangkan tempat bagi karyawan yang lebih muda dan lebih agresif, mereka barangkali mulai memikirkan keselamatan kerjanya.
4.     Sikap manajemen
Di beberapa perusahaan, manajemen tidak peka terhadap kebutuhan para karyawannya. Pada saat situasi ini terjadi, kalangan karyawan mungkin menganggap bahwa mereka sedikit tidak berpengaruh sama sekali dalam hal-hal yang terkait dengan pekerjaan. Karyawan-karyawan yang merasa bahwa mereka benar-benar bukan bagian dari perusahaan merupakan sasaran utama pembentukan serikat pekerja.
b.    Saluran sosial
Orang-orang perlu bersosialisasi dan menjadi bagian dari sebuah kelompok. Mereka umumnya menikmati berada di sekitar orang lain yang memiliki minat dan keinginan yang serupa. Serikat pekerja memenuhi kebutuhan tersebut dengan menyatukan orang-orang yang mempunyai minat dan tujuan yang sama. Melalui pertemuan, aktivitas sosial, program pendidikan, dan proyek bersama, serikat pekerja dapat membangun ikatan persahabatan dan semangat tim yang sangat erat.
c.    Agar suara mereka di dengar
Keinginan ekspresi diri merupakan dorongan fundamental manusia bagi sebagian besar orang. Mereka berharap dapat mengkomunikasikan tujuan, perasaan, keluhan, dan gagasan mereka kepada orang lain. Sebagian karyawan berharap lebih dari sekadar sekrup di dalam sebuah mesin besar. Mereka ingin agar manajemen mendengarkan mereka. Serikat pekerja menyediakan mekanisme penyaluran perasaan dan pikiran tersebut kepada jajaran manajemen.
d.    Menyediakan kesempatan untuk kepemimpinan
Beberapa individu mendambakan peran kepemimpinan, namun tidak selalu mudah bagi karyawan operasional untuk berkembang ke arah posisi manajerial. Sungguhpun demikian, karyawan dengan aspirasi kepemimpinan acapkali dapat mewujudkannya melalui serikat pekerja. Manajemen perusahaan sering memperhatikan karyawan-karyawan yang menjadi ketua serikat pekerja, dan bukanlah hal yang luar biasa bagi mereka untuk mempromosikan karyawan seperti itu ke posisi manajerial sebagai penyelia.
e.    Tekanan rekan sejawat
Teman-teman dan rekan sejawat dapat saja secara konstan mengingatkan seorang karyawan bahwa dia bukanlah seorang anggota serikat pekerja. Kegagalan menggabungkan diri dengan serikat pekerja dapat berakibat penolakan terhadap karyawan yang bersangkutan oleh karyawan lainnya.
3.    Dampak Serikat Pekerja
Dalam Henry Simamora (2004:556) menurut Pasal 104 ayat 1 undang-undang ketenagakerjaan tahun 2003, setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh. Para karyawan bergabung dengan serikat pekerja dalam upaya meningkatkan upah, kondisi kerja dan keselamatan kerja.
a.    Dampak monopoli
Perspektif atas serikat pekerja berangkat dari premis bahwa serikat pekerja menaikkan upah di atas tingkat upah kompentitif. Kemajukan dampak gaji serikat pekerja  di semua industri sebagian disebabkan oleh kemampuan serikat pekerja membawa ”upah keluar dari kompetisi”. Upah dapat keluar dari kompetisi melalui bebrapa cara, yaitu tuntutan serikat pekerja mungkin relatif tidak sensitif terhadap perubahan upah dan tingkat organisasi serikat pekerja di dalam suatu pasar tertentu dapat pula mempengaruhi kekuatan monopoli serikat pekerja.
b.    Dampak suara kolektif
Di tempat kerja, suara seorang karyawan jarang efektif untuk mendatangkan perubahan. Selain itu, banyak karyawan yang takut akan dipecat sehingga mereka menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Penggabungan dan penggalangan suara kolektif (collective voice) menawarkan perlindungan dari ketakutan ancaman manajemen.
c.    Dampak terhadap manajemen dan produktivitas
Serikat pekerja mengakibatkan erosi signifikan atas otoritas pengambilan keputusan manajerial untuk mengendalikan kalangan karyawan. Banyak keputusan personalia penting yang harus sesuai dengan isi kontrak perjanjian perundingan kerjasama antara manajemen-karyawan.
Homogenitas yang lebih kental dalam praktik-praktik sumber daya manusia sering tercapai akibat perjanjian perundingan kerja bersama yang menstandarisasi upah, jam kerja, dan kondisi kerja. Salah satu manfaat sampingan dari pembentukan serikat pekerja adalah bahwa perusahaan dapat dipaksa membenahi cara pelaksanaan fungsi-fungsi sumber daya manusianya. Moral kerja, produktivitas, dan harmoni para karyawan bisa nyata-nyata membaik manakala terjadi transisi dari suasana yang tanpa serikat pekerja dengan praktik-praktik sumber daya manusia yang menyedihkan ke suasana berserikat pekerja dengan perjanjian perundingan kerja bersama yang komprehensif.
Sumber kekhawatiran lainnya perihal pembentukan serikat pekerja adalah kekuatan bahwa perjanjian perundingan kerja bersama tidak akan membolehkan perusahaan untuk memanfaatkan kemajuan teknologi secara optimal.
d.    Dampak terhadap para karyawan
Pengaruh serikat pekerja terhadap para karyawan meliputi:
•    Ketidakpastian mengenai bayaran, jam kerja, dan kondisi kerja akan berkurang. Kompensasi dan paket tunjangan karyawan serta seperangkat peraturan kerja yang seragam akan mempersempit kemungkinan terjadinya kesalahpahaman antara kalangan karyawan dan manajemen.
•    Pemecatan karyawan dan perlakuan semena-mena relatif jarang terjadi di perusahaan yang berserikat pekerja karena adanya prosedur keluhan.
•    Serikat pekerja merupakan alat dari kalangan karyawan untuk dapat menyatukan kekuatan individual mereka ke dalam kekuatan kelompok yang sangat besar.

E.    Masalah Khusus yang Harus Dipecahkan dalam Hubungan Industrial
1.    Masalah pengupahan
a.    Upah merupakan masalah sentral dalam Hubungan Industrial karena sebagian besar perselisihan terjadi bersumber dari masalah pengupahan. Bagi perusahaan upah merupakan komponen biaya yang cenderung untuk ditekan. Sedangkan bagi pekerja upah adalah sumber penghasilan bagi pekerja untuk hidup bersama keluarganya. Karena itu pekerja cenderung menginginkan upah itu selalu meningkat. Jadi terjadi perbedaan keinginan antara pekerja dan pengusaha mengenai upah. Apabila dalam perusahaan dapat diciptakan suatu sistem pengupahan yang adil akan dapat menciptakan ketenangan kerja, ketenangan usaha serta meningkatkan produktivitas kerja. Apabila dalam perusahaan tidak dapat diciptakan suatu sistem pengupahan yang baik, maka upah akan selalu menjadi sumber perselisihan di dalam perusahaan.
b.    Karena kondisi ketenagakerjaan yang belum menguntungkan khususnya ketidakseimbangan yang menyolok dalam pasar kerja yaitu penawaran tenaga kerja lebih besar dari permintaan tenaga kerja maka posisi tenaga kerja sangat lemah berhadapan dengan pengusaha. Akibatnya upah yang diterima pekerja sangat rendah terutama bagi pekerja lapisan bawah. Apabila upah bagi pekerja lapisan bawah penentuannya diserahkan kepada pasar tenaga kerja maka upah tersebut akan cenderung selalu menurun. Oleh sebab itu perlu dikembangkan program upah minimum untuk melindungi pekerja lapisan bawah tadi. Apabila upah masih rendah, maka orang sukar berbicara mengenai Hubungan Industrial Pancasila karena upah yang rendah adalah tidak manusiawi. Oleh sebab itu konsep upah minimum yang ada perlu dipertahankan dan diawasi pelaksanaanya.
2.    Pemogokan
a.    Sekalipun hak mogok telah diatur dalam peraturan akan tetapi pemogokan akan merusak hubungan antara pekerja dan pengusaha. Pemogokan merugikan semua pihak baik pekerja, pengusaha maupun masyarakat karena itu pemogokan harus dihindari dan kalau terjadi harus diselesaikan secara tuntas.
b.    Didalam falsafah Hubungan Industrial Pancasila yang berdasarkan musyawarah mufakat, mogok bukanlah merupakan upaya yang baik dalam menyelesaikan masalah. Namun demikian didalam peraturan perundangan kita, hak mogok diakui dan diatur penggunaannya. Oleh sebab itu walaupun mogok secara yuridis dibenarkan akan tetapi secara filosofis harus dihindari. Untuk itu upaya-upaya pencegahan pemogokan perlu ditingkatkan seperti pengembangan kelembagaan Bipartit, Tripartit, Kesepakatan Kerja Bersama dan Penyelesaian Perselisihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.

F.    Penyelesaian Permasalahan Perburuhan
Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenal keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan.
Cara yang dapat di tempuh dalam penyelesaian permasalahan perburuhan antara lain:
1.    Penyelesaian Sengketa Buruh Melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Undang-undang Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999 memberi peluang bagi Buruh dan Tenaga Kerja dalam menyelesaikan sengketa buruh. Walaupun banyak kaum awam belum paham tentang tata cara penyelesaian sengketa Buruh melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Undang-undang No.39 Tahun 1999 memberi peluang sengketa buruh dapat diselesaikan melalui Komisi Hak Asasi Manusia.
Pada pasal 89 ayat 3 sub h, dikemukakan Komnas HAM dapat menyelesaikan dan memberi pendapat atas sengketa publik, baik terhadap perkara buruh yang sudah disidangkan maupun yang belum disidangkan.
Penjelasan Undang-undang tersebut mengatakan sengketa publik yang dimaksud di dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia tersebut termasuk 3 (tiga) golongan sengketa besar, antara lain sengketa pertanahan,sengketa ketenagakerjaan dan sengketa lingkungan hidup


2.    Penyelesaian Sengketa Buruh Di Luar Pengadilan
Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial dalam Undang-undang No.2 Tahun 2004 memungkinkan penyelesaian sengketa buruh/Tenaga Kerja diluar pengadilan. Dalam Wahyudi Husodo (2009)
a.    Penyelesaian Melalui Bipartie
Bipartie merupakan langkah pertama yang wajib dilaksanakan dalam penyelesaian PHI oleh penguasa dan pekerja atau serikat pekerja adalah dengan melakukan penyelesaian dengan musyawarah untuk mufakat, sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7 Undang-undang No.2 Tahun 2004 memberi jalan penyelesaian sengketa Buruh dan Tenaga Kerja berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengadakan azas kekeluargaan antara buruh dan majikan.
b.    Penyelesaian Melalui Mediasi
Mediasi ialah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja atau serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang mediator yang netral, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UUPPHI. Pemerintah dapat mengangkat seorang Mediator yang bertugas melakukan mediasi atau juru damai yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan sengketa antara buruh dan majikan.
c.    Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Penyelesaian melalui Konsiliator yaitu pejabat Konsiliasi yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Tenaga Kerja berdasarkan saran organisasi serikat pekerja atau Serikat Buruh. Segala persyaratan menjadi pejabat Konsiliator tersebut di dalam pasal 19 Undang-Undang No.2 Tahun 2004. Dimana tugas terpenting dari Kosiliator adalah memangil para saksi atau para pihak terkait dalam tempo selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima penyelesaian Konsiliator tersebut.


d. Penyelesaian Melalui Arbitrase
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena itu arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam undang-undang ini merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial.
Undang-undang dapat menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dan majikan di dalam suatu perusahaan. Untuk ditetapkan sebagai seorang Arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1).
3.    Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan
Dalam UU PPHI, disebutkan bahwa hakim yang bersidang terdiri dari 3 hakim, satu hakim karir dan dua hakim ad hoc. Hakim ad hoc adalah anggota majelis hakim yang ditunjuk dari organisasi pekerja dan organisasi pengusaha. Hakim ad hoc, dianggap orang yang mengerti dan memahami hukum perburuhan saat ini dengan baik. "Tujuannya, karena hukum perburuhan ini mempunyai sifat yang spesifik, maka dibutuhkan orang-orang khusus yang mengerti permasalahan perburuhan. Dalam Pasal 56 Undang-undang No.2 Tahun 2004 mengatakan Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan:
• di tingkat pertama mengenai perselisihan hak
• di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
• di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
• di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

G.    Peranan Pemerintah dalam Mengatasi Masalah Perselisihan Perburuhan
Di negara manapun pemerintah selalu berkpentingan dalam perdamaian industrial (industrial peace). Berarti pemerintah selalu berkepentingan dalam penyelesaian perselisihan perburuhan secara damai. Kepentingan tersebut dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, seperti pandangan politik, ekonomi dan ketertiban masyarakat. Sudut pandang tersebut dapat dibenarkan antara lain karena kehidupan industrial mempunyai dampak terhadap berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tambahan pula, pemerintah memang bertanggung jawab dan mempunyai wewenang untuk mengatur semua segi kehidupan berorganisasi, bermasyarakat dan bernegara.
Peranan pemerintah dalam penyelesaian pereselihan perburuhan pada hakikatnya berkisar pada:
a.    Menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan tentang hubungan industrial dalam negara yang bersangkutan dan cara-cara penyelesaiannya dalam hal hubungan industrial itu terganggu.
b.    Mengawasi pelaksaan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut.
c.    Mencegah timbulnya perselisihan perburuhan.
d.    Bertindak selaku mediator apabila perselisihan perburuhan terjadi sehingga diperoleh penyelesaian yang serasi antara lain dengan mempermudah prosedur yang ditempuh dalam proses arbitrasi.
Adanya serangkaian peraturan perundang-undangan tentang hubungan industri yang disertai ketentuan-ketentuan penyelesaian perselisihan perburuhan sangat penting artinya untuk dijadikan pegangan, baik oleh para pekerja dan serikat pekerja, manajemen maupun arbitrator.
Peranan pemerintah selaku pendorong penyelesaian perselisihan perburuhan yang saling menguntungkan pada umumnya diterima baik oleh para pekerja maupun oleh manajemen. Pemerintah dapat berperan penting sebagai mediator seperti misalnya dalam hal mengusulkan arbitrator kepada kedua belah pihak yang beresengketa. Dengan menerima arbitrator yang diusulkan oleh pemerintah itu, proses arbitrasi diharapkan dapat berjalan dengan lancar.  
  





BAB III
KESIMPULAN

Hubungan industrial merupakan hubungan antara pelaku proses produksi barang maupun jasa yaitu pengusaha, pekerja dan pemerintah. Hubungan industrial bertujuan untuk menciptakan hubungan yang serasi, harmonis dan dinamis antara pelaku proses produksi tersebut. Oleh karena itu masing-masing pelaku produksi tersebut harus melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing secara baik. Hubungan industrial diatur dalam undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Untuk menciptakan suasana yang menunjang maka perlu dikembangkan sarana-sarana utama yang menunjang terlaksananya hubungan industrial pancasila, antara lain: lembaga kerjasama bipartit dan tripartit, kesepakatan kerja bersama, kelembagaan penyelesaian perselisihan industrial, peraturan perundangan ketenagakerjaan.
Dalam Henry Simamora (2004:563) menurut Pasal 1 ayat 4 undang-undang serikat pekerja tahun 2000, serikat pekerja/ serikat buruh, federasi dan konfederensi serikat pekerja/ serikat buruh bertujuan untuk memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Tujuan kedua yaitu peningkatan tujuan sosial secara keseluruhan. Pencapain tujuan sosial telah menjadi bagian kontroversial dari filosofi serikat pekerja, terutama bagi kebanyakan orang yang umumnya lebih menyukai keuntungan adanya serikat pekerja untuk mereka sendiri.
Faktor-faktor pendukung karyawan masuk dalam serikat pekerja, antara lain: ketidakpuasaan terhadap manajemen, saluran sosial, agar suara mereka di dengar, menyediakan kesempatan untuk kepemimpinan,tekanan rekan sejawat. Dampak serikat pekerja antara lain: dampak monopoli, dampak suara kolektif, dampak terhadap manajemen dan produktivitas, dampak terhadap para karyawan
Masalah khusus yang harus dipecahkan dalam hubungan industrial, yaitu masalah pengupahan dan pemogokan. Penyelesaian Permasalahan Perburuhan dapat ditempuh dengan cara, penyelesaian sengketa buruh melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, penyelesaian sengketa buruh di luar pengadilan, penyelesaian perselisihan melalui pengadilan.
Peranan pemerintah dalam penyelesaian pereselihan perburuhan pada hakikatnya berkisar pada: menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan tentang hubungan industrial dalam negara yang bersangkutan dan cara-cara penyelesaiannya dalam hal hubungan industrial itu terganggu, mengawasi pelaksaan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut, mencegah timbulnya perselisihan perburuhan, bertindak selaku mediator apabila perselisihan perburuhan terjadi sehingga diperoleh penyelesaian yang serasi antara lain dengan mempermudah prosedur yang ditempuh dalam proses arbitrasi.






















DAFTAR RUJUKAN

Siagian, Sondang. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Ed.1, Cet.17. Jakarta:Bumi Aksara
Simamora, Henry. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Ed.3, Cet. 2. Yogyakarta:Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN
Dianto. 20008. Hubungan Industrial Pacasila. (Online:http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/hub.industrial_pancasila/bab4 hubungan_industrial_pancasila.pdf, diakses 4 Oktober 2010)
Husodo, Wahyudi. 2009. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. (Online: http://raja1987.blogspot.com/2009/06/penyelesaian-perselisihan-hubungan.html, diakses, 4 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar